Laman

Selasa, 26 Juni 2012


Pria ini Tak Mandi Selama 37 Tahun




·
Dailymail
Kailash Singh memutuskan tidak mandi demi mendapatkan anak lelaki.


Tak mandi selama beberapa hari tentu menimbulkan perasaan tak nyaman dan aroma tubuh tak sedap. Namun aroma tak enak adalah sesuatu yang biasa bagi Kailash Singh, 65. Pria yang berprofesi sebagai buruh tani ini tak pernah mandi selama 37 tahun.


Karena kebiasaan 'jorok'nya, Kailash dinobatkan sebagai pria terbau di dunia.

Bukan hanya tak pernah mandi, Kailash juga menolak memotong rambut sejak  1974, tak lama setelah ia menikah. Kini, rambutnya telah mencapai 6 kaki, atau sekitar 1,8 meter.

Keputusan yang tidak lazim ini dia lakukan karena beranggapan bahwa  seorang imam dijamin akan memiliki anak laki-laki jika mengikuti ajarannya. Singh kini memiliki tujuh orang anak perempuan.

Sehari-hari, Singh menghabiskan waktu merawat sapi dibawah terik panas matahari yang suhunya mencapai 47 celsius. Namun ia tak pernah membersihkan tubuh. Bahkan, Sign lebih senang melakukan aktivitas mandi api setiap malam, merokok ganja, berdoa kepada Dewa Siwa  dan menari mengelilingi api unggun.

Keluarganya mengaku tersiksa akibat perilaku Singh. Namun mereka kini tidak pernah lagi mencoba membujuk dan memaksanya mandi ke sungai.
Istrinya, Kalavati Devi, 60, menyatakan berusaha sekuat tenaga membuat sang suami mandi. "Kami sudah mencoba beberapa kali dan memaksanya untuk mandi tapi dia malah membuat keributan.

"Dia bilang, dia lebih suka mati daripada mandi dan hanya anak yang bisa mengubah pikirannya. Dia berkata, 'Sudah bertahun-tahun saya tidak mandi dan sekarang saya sudah terbiasa'."
Istrinya bahkan mengancam menolak tidur satu ranjang jika Singh tidak mandi. Tapi Singh keukeuh dan bersikeras setia mengikuti keyakinannya.
"Saya tersiksa dan mulai menangis ketika ia bercerita tentang keputusan tidak masuk akalnya," katanya. "Saya bahkan mengancam untuk berhenti tidur dengannya, tapi suami tidak peduli,” kata istri Singh.
Singh mengaku sering dikucilkan oleh tetangganya di pedesaan Chatav."Anak-anak bahkan sering menggoda dan berteriak bahwa saya tidak pernah mandi saat naik sepeda menyusuri desa," katanya.
"Banyak orang yang memiliki karakter buruk yang mengejek hanya karena saya tidak pernah mandi. Mereka tidak mengerti keputusan saya, tetapi saya tidak akan mengubah pikiran saya karena itu adalah pilihan Tuhan, bukan saya."

Meski tak pernah mandi, ritual 'mandi api' dipercayainya mampu membersihkan dirinya. "Istri saya tidak suka dengan perilaku saya, tapi dia harus menerimanya. Selain itu, saya mandi api di malam hari untuk menghilangkan semua keringat. "

Putri termudanya Pooja, 16, mengatakan keputusan aneh ayahnya telah membuatnya lebih populer di antara teman sebaya.
"Teman-teman sekolah saya penasaran ingin melihat dan bertemu ayah," katanya. "Mereka terus bertanya padaku bagaimana ia bisa hidup selama bertahun-tahun tanpa mandi. Mereka ingin melihatnya sendiri."
"Sebelumnya saya marah. Tapi tidak ada yang bisa kita lakukan karena dia tidak mendengarkan siapa pun."

Singh, kata Pooja, hanya menyentuh air saat mencuci mulut dan tangannya.
"Mungkin ketika saya dilahirkan kembali, baru saya akan mandi,” ucap Singh.

sumber: vivanews


RESENSI BUKU:

IBNU TAIMIYAH VERSUS PARA FILOSOF; KARANGAN
Dr. ZAINUL KAMAL, M.A.


Sampai saat ini logika Aristoteles masih menempati posisi terbaiknya dikalangan intelektual Barat maupun Timur, termasuk di Indonesia. Sejak kitab-kitab pemikir Yunani(logika Aristoteles, red) diterjemahkan oleh Pemikir Islam dan masuk ke Dunia Islam pada abad pertama hijriah, kemudian berkembang pada abad-abad berikutnya. Dalam perkembangannya itu, terdapat pro dan kontra di internal Umat Islam. Di antara para filosof Muslim yang mempunyai perhatian besar terhadap logika Aristoteles adalah tokoh-tokoh seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Mereka menggunakan logika untuk mempertahankan eksistensi ajaran Islam dari serangan penentang Islam yang bersenjatakan Logika Aristoteles. Dalam artian mereka menggunakan sistem senjata yang sama, bahkan mereka pertajam dengan nilai-nilai islam. Sebagai senjata apologi untuk melawan musuh-musuh Islam.
Namun tidak semua pemikir Islam sependapat dengan para filosof muslim itu. Diantara mereka seperti Ulama Salaf, ahli fikih dan hadis mengharam mempelajari Logika Aristoteles, seperti Imam Syafi’i dan Ibnu Shalah. Tidak jarang kritikannya bersifat emosional dan kurang proporsional. Adapun orang yang pertama menentang dan mengkritik secara khusus ajaran Aristoteles adalah Ibnu Taimiyah.
Buku “Ibnu Taimiyah Versus Para Filosof” karangan Dr. Zainun Kamal, M.A yang sangat menarik dan penuh dengan dialektika pemikiran. Pembaca seolah diajak menjadi juri akan perdebatan, kritik-mengkritik seputar ukuran kebenaran mana yang pantas, apakah menurut Ibnu Taimiyah atau para filosof. Apa implikasi ketika argumentasi yang satu dianggap benar, dan argumentasi yang lain dianggap salah, atau bahkan kedua-duanya salah? Dalam buku ini Ibnu Taimiyah berupaya menunjukkan kerancuan logika aristoteles yang sangat diagung oleh pengikut-pengikutnya para filosof muslim, namun alih-alih hendak menunjukkan kerancuannya, argumentasinya dalam mengkritik telah membawa dan membuat para filosof menjuluki dia sebagai pelopor mazhab empirisme yang berkiblat pada epistemologi bayani. Sebuah mazhab pemikiran yang menitik fokuskan ukuran kebenaran berdasarkan pengalaman inderawi yang empiris menggunakan penalaran induksi, yakni penarikan kesimpulan yang diambil dari kasus-kasus yang khusus menuju kasus-kasus yang umum.
Kritik Ibnu Taimiyah tidak hanya tidak hanya menyangkut pada prinsip-prinsip logika dan hukum kausalitas, tetapi juga prinsip dasar logika Aristoteles, deduksi dan silogisme. Bahkan unsur pembuatan silogisme pun dikritiknya, yaitu mengenai definisi serta para filosof muslim yang terpengaruh logika Aristoteles. Dari semua macam-macam definisi, definisi analisis sempurna yang menurut Aristoteles merupakan definisi terbaik karena langsung mengarah ke hakikat sesuatu, namun tidak dengan Ibnu Taimiyah, Menurutnya definisi itu adalah definisi paling rendah dan buruk,  bahkan definisi yang dianggap oleh Aristoteles merupakan definisi yang terendah, bagi Ibnu Taimiyah terbaik, yaitu definisi nominal tak logis.
Sungguh pun demikian, respon para sarjana Muslim terhadap Aristoteles telah banyak menghasilkan buah intelektual yang mengagumkan, terbukti karya-karya besar berkaitan dengan logika telah memperkaya khazanah intelektual Islam. Logika Aristoteles merupakan Neraca bagi Seluruh Ilmu pengetahuan kata Al Ghazali, bagi Ibnu Sina  merupakan undang-undang yang menjaga akal dari kesalahan, dan membedakan antara yang betul dan yang salah, sehingga akal sehat dapat berfungsi  dengan baik. Bahkan Ibnu Rusyd dalam pengantar Kitab At-Thabi’iyat(Kitab Fisika) sebagaimana dikutip oleh Zainun Kamal,  sangat memuji Aristoteles  dengan mengatakan:

Pengarang kitab ini(logika aristoteles., red) adalah Aristoteles, filosof agung dan paling jenius, peletak pertama ilmu logika, fisika, metafisika. Ilmu-ilmu ini ditulisnya sekaligus dengan cara tersempurna, yang tidak pernah tercapai oleh filosof sebelum dan sesudahnya. Orang yang datang sesudahnya tidak mampu berbuat sesuatu melebihinya, tetapi selalu mengambil darinya. Sampai saat ini (masa Ibnu Rusyd, Red) tidak seorang pun dari para filosof yang sanggup menambahkan sesuatu yang baru, atau menemukan sesuatu yang salah dankeliru dari Aristoteles. Ini sungguh aneh dan luar biasa, mu’jizat kata ibnu Rusyd: karena semua ilmu ini (logika, fisika dan metafisika, red) telah terkumpul pada diri satu orang. Karena keistimewaannya itu, ia lebih pantas disebut sebagai seorang pribadi yang bersifat Ilahi ketimbang pribadi manusiawi.

Agar tidak penasaran, baca artikel selanjutnya dibawah ini:








Minggu, 24 Juni 2012


Pengalaman Traumatik Masa Kolonial




Bagaimana merasakan masa kolonialisme?  mengapa pengalaman masa lalu merupkan collective memory yang menimbulkan trauma bagi orang-orang yang berada dalam posisi terjajah? bagaimana kondisi mereka saat itu? Iklan berikut ini dapat mengetahui dan merasakan betapa pahit dan menderitanya bangsa kita saat penjajahan berlangsung.
Iklan berikut ini benar-benar kutipan dari koran bertahun 1889.
PENGOEMOEMAN
DAG INLANDER AJOO URANG MELAJOE KOWE MAHU KERDJA?
GOVERNMENT NEDERLANDSCH INDIE PERLU KOWE OENTOEK DJADI BOEDAK ATAOE TJENTENK DI PERKEBOENAN PERKEBOENAN ONDERNEMING KEPOENJAAN GOVERNEMENT NEDERLANDCH INDIE.
JIKA KOWE POENJA SJARAT DAN NJALI BERIKOET :
1. Kowe poenja tangan koeat dan beroerat.
2. Kowe poenja njali gede
3. Kowe poenja moeka kasar
4. Kowe poenja tinggal di wilajah Nederlansch Indie
5. Kowe boekan kerabat dekat pemberontak ataoepoen maling atoepoen mereka jang oedah diberantas lewat actie politioneet
6. Kowe beloem djadi boedak nederlander atoepoen ondernemer atoe toean tanah atoe baron eropah
7. Kowe maoe bekerdja radjin dan netjes
KOWE INLANDER PERLOE DATANG KE RAWA SENAJAN, KOWE HAROES DIPILIH LIWAT DJOERI DJOERI JANG BERTOEGAS
1. Keliling rawa Senajan 3 kali
2. Angkat badan 30 kali
3. Angkat peroet 30 kali
Kowe mesti ketemoe Mevrouw Shanti, Meneer tomo en Meneer Atmadjaja. Kowe nanti akan didjadikan tjentenk oentoek di Toba, Buleleng, Borneo, Tanamera, batam, Soerabaja, Batavia en Riaoeelland.
Governement Nederlandsch Indies memberi oepah :
1. Makan 3 kali prhari dengan beras poetih dari Bangil
2. Istirahat siang 1 uur
3. Oepah dipotong padjak Government 40 percent oentoek wang djago.
Haastig kalaoe kowe mahoe
Pertanggal 31 Maart 1889
Niet Laat te Zijn Hoor, Batavia 1889
Onder de naam van Nederlandsch Indie Governoor Generaal
H.M.S Van Der Bergh S. J. J de Gooij

Perpusatakaan Nasional Republik Indonesia. (diambil dari materi kuliah Teori Sosiologi Kontemporer oleh Pak Ganda Upaya)

Pengalaman Traumatik
Iklan mencari budak diatas menunjukkan bahwa Hindia Belanda (Indonesia) dikuasai secara militer dan politik serta didominasi secara ekonomi sosial dan budaya. Sangat rasis, terlihat bagaimana Belanda sebagai colonizer merupakan kalangan White Supremacy yang sangat arogan sedangkan inlander atau pribumi sebagai colonizedkedudukannya hanya sebagai budak dan centeng dengan upah yang dipotong 40 persen, makan 3 kali sehari dan istirahat 1 jam.
Pengalaman pahit juga dirasakan oleh perempuan pribumi kala itu. Banyak perempuan dijadikan gundik atau yang bernasib lebih baik, dijadikan nyai (pengurus rumah tangga). Baik gundik maupun nyai tidak akan dinikahi. Mereka bekerja merangkap pemuas nafsu, atau lebih dimanfaat seperti (maaf) pelacur. Seorang wartawan dan penulis, Henri Baroel melihat kemerosotan moral para pemuda laki-laki lajang yang datang ke Hindia Belanda pada tahun 1900 yaitu dengan mengambil pembantu rumah tangga perempuan untuk dijadikan gundik. Hal ini ditemukan dalam salah satu tulisannya Een Werkkring in Indie : “..yang menjadi kebiasaan para pemuda. Mereka yang mampu kadang-kadang membayar lebih dari seorang pembantu rumah tangga. Atau dua orang pemuda atau lebih yang tidak mampu membayar sendiri-sendiri, mereka tinggal bersama untuk memelihara seorang pembantu rumah tangga. Secara bergiliran mereka menganggapnya sebagai femelle (perempuan) mereka.”  Yang menyedihkan, banyaknya laki-laki yang hidup dalam pergundikan, namun tidak menghendaki lahirnya anak sama sekali yang dianggapnya sebagai hal yang mencemaskan. Akibatnya terjadi pengguguran kandungan dalam jumlah besar. Para perempuan pribumi yang dijadikan gundik ini memikul beban ganda yaitu dijajah oleh kekuasaan imperial dan disubordinasikan oleh laki-laki penjajah
Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Spanyol dsb menjajah secara jelas negara-negara jajahannya berdasarkan aspek geografis. Indonesia mendapatkan kemerdekaannya melalui perjuangan dan pertempuran yang sengit. Penjajahan 3,5 abad oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang, membuat bangsa Indonesia bertempur mati-matian. Konsep kemerdekaan dan persatuan tanah air, bangsa  dan bahasa dirumuskan sedemikan rupa oleh para pendiri bangsa yang tidak tahan melihat penderitan nasib sesama pribumi yang terjajah.
Gayatri Spivak: “Can the Subaltern Speak?”
Tidak hanya Indonesia, India juga mengalami penjajahan oleh Inggris. Hal ini yang membuat Gayatri Spivak berbicara di Forum International, tentang “Can Subaltern Speak?” tulisan Spivak ini awalnya didasari oleh pengalaman traumatiknya, ketika neneknya, melakukan bunuh diri pada tahun 1926. Sampai beberapa waktu tidak diketahui apa alasannya. Baru kemudian diketahui, bahwa kala itu Bhuvaneswari, nenek Spivak merupakan anggota kelompok yang terlibat dalam perjuangan bersenjata bagi kemerdekaan India. Keputusannya menggantung diri diambil, karena tak mampu melakukan pembunuhan politik yang dipercayakan kelompoknya. Kajian Poskolonialisme Spivak ingin menunjukkan keberadaan Subaltern, yang merupakan kelompok yang opressed atau tertekansehingga tidak dapat menyuarakan dirinya. “Tidak ada orang tertindas yang bisa bicara. Diberbagai tempat didunia disepanjang sejarah manusia, selalu ada orang-orang yang secara absolut tidak punya suara dan tidak dapat berbicara”.
Subaltern’ yang dimaksud Spivak sebagai subjek yang tertekan,  yang pernah dikatakan oleh Antonio Gramsci (1978) mengenai Subaltern Classes. Gambaran kelompok kajian Subaltern memusatkan perhatian pada sejarah, politik, ekonomi dan sosiologi sebagai subalternatif  didasarkan sikap, ideologi, dan sistem kepercayaan. Singkatnya kondisi informasi budaya. Konsep subaltern Spivak adalah sebutan untuk keseluruhan subjek yang tertekan, lemah dan bersifat marjinal.  Berkaitan dengan budaya, kolonialisme tidak saja terjadi penaklukan fisik, melainkan juga penaklukan pikiran, jiwa dan budaya.
Ketidakmampuan berbicara juga dialami oleh rakyat Mesir ketika dijajah oleh Inggris. Hal ini dikemukakan oleh Edward W Said dalam bukunya Orientalisme. Bagi Said, Orient (Timur) dan Occident (Barat) adalah Biner, atau dua hal yang terdapat dalam  orientalisme. Ada barat dan timur, yang pertama menguasai sedang yang kedua, dikuasai. Bagi Inggris saat itu, setiap orang Mesir yang akan berbicara kemungkinan besar adalah seorang penghasut yang akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dan bukan seorang pribumi baik-baik yang mau memaafkan dan melupakan “kesulitan-kesulitan” dari dominasi asing. Tergambarkan bahwa  hegemoni terjadi di Mesir. Dan hal ini tentu saja tidak akan terjadi bila tidak ada dominasi kekuasaan.
Bagi Spivak, subaltern “tidak layak” mereprentasikan dirinya, kaum terdididik yang dapat merepresentasikannya dengan menyuarakan subaltern  sebagai kelompok yang tertindas.  Atau para subaltern memerlukan pendidikan yang layak agar dapat besikap kritis. Sejarah negara-negara terjajah harus merepresentasi yang terjajah. Perlu ada remaking history, sejarah ditulis kembali agar trauma bisa hilang.
Dimasa kini, kolonialisasi dapat saja terjadi dalam bentuk “penjajahan”  ekonomi, dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, dan dapat terjadi subalternisasi pada kalangan miskin. Perhatian harus diberikan kepada mereka agar  tidak menjadi kelompok yang bungkam, tidak dapat menyuarakan dan memperjuangkan hak dan kepentingannya. Hal ini yang menjadi  salah satu perhatian Spivak, dalam artikelnya “Can Subaltern Speak?”. Tidak ada posisi subjek didalam diskursus kolonialisme yang memungkinkan berbicara untuk diri mereka sendiri. Bila kini setelah merdeka masih ada aura kolonialisme dalam  bentuk lain, maka seperti yang dikatakan oleh Spivak, bahwa kaum yang terdidik yang harus menyuarakan mereka yang tidak mampu bersuara.
Franz Fanon: Black Skin, White Mask.
 Frantz Fanon adalah salah satu dari pemikir yang mendukung perjuangan dekolonisasi  yang terjadi setelah Perang Dunia II. Hidupnya  singkat, dan hatinya dicurahkan dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aljazair yang saat itu dijajah Perancis. Dia memberi dorongan terhadap kebebasan manusia dalam konteks kolonial. Karya tulisnya telah menjadi teks sentral dalam cara berpikir orang Africa, sebagian besar karena perhatiannya terhadap hibriditas peran dan kreolisasi yang bersifat humanis, anti-kolonial budaya. Hibriditas, khususnya, dipandang sebagai oposisi kontra-hegemonik terhadap praktek kolonial.
Dalam karyanya Peau Noire, masques Blancs (Kulit Hitam, Topeng Putih) , Fanon yang berkulit hitam dan warga negara Prancis ini telah menjadi figur inspirasional yang memberi imajinasi moral untuk keadilan sosial bagi orang-orang memperjuangkan kaum yang terpinggirkan dan tertindas. Hasil karyanya  mengartikulasikan humanisme anti-rasis radikal yang melekat baik untuk asimilasi ke arus utama supremasi kulit putih ataupun filsafat reaksioner superioritas hitam.
Inti pemikirannya adalah bahwa tidak ada seorangpun yang memilih dilahirkan dalam keadaan berkulit hitam atau berkulit putih. Namun ketika seseorang dilahirkan dalam keadaan berkulit hitam, itu sudah suatu takdir, tetapi bukan berarti  dapat diperlakukan tidak adil atau memiliki stereotip negatif hanya karena kulitnya hitam. Perlakuan ini tidak saja dalam kehidupan sehari-hari, tetapi pencitraan yang buruk juga terdapat dalam kisah, cerita yang ada pada majalah dan media lainnya, bahwa negro itu manusia buruk atau jahat. “In Europe, the black man is the symbol of Evil” .
Fakta bahwa orang kulit putih menganggap diri mereka lebih unggul dibandingkan orang kulit hitam mengharuskan orang kulit hitam membuktikan dirinya agar dapat memiliki kemampuan dalam hal kekeyaan, kemampuan berpikir dan intelektualitas. Hal ini juga tidak lepas dari faktor psiokologis bahwa terdapat alienasi bila orang kulit hitam tidak mendapatkan pengakuan langsung dari realitas sosial dan ekonomi. Ada rasa rendah diri yang terinternalisasi dalam diri orang berkulit hitam.
BLACK SKIN, WHITE MASKS.
The black man wants to be like the white man. For the black
man there is only one destiny. And it is white. Long ago the black
man admitted the unarguable superiority of the white man, and
all his efforts are aimed at achieving a white existence.
Have I no other purpose on earth, then, but to avenge the Negro
of the seventeenth century?
In this world, which is already trying to disappear, do I have
to pose the problem of black truth?
Do I have to be limited to the justification of a facial
conformation?
I as a man of color do not have the right to seek to know in
what respect my race is superior or inferior to another race.
I as a man of color do not have the right to hope that in the
white man there will be a crystallization of guilt toward the past
of my race.
I as a man of color do not have the right to seek ways of
stamping down the pride of my former master.
I have neither the right nor the duty to claim reparation for the
domestication of my ancestors.
There is no Negro mission; there is no white burden.
I fi nd myself suddenly in a world in which things do evil; a
world in which I am summoned into battle; a world in which it
is always a question of annihilation or triumph.
I find myself—I, a man—in a world where words wrap
themselves in silence; in a world where the other endlessly hardens
himself.
No, I do not have the right to go and cry out my hatred at the
white man. I do not have the duty to murmur my gratitude to
the white man.
My life is caught in the lasso of existence. My freedom turns me
back on myself. No, I do not have the right to be a Negro.
I do not have the duty to be this or that. . . .
If the white man challenges my humanity, I will impose my
whole weight as a man on his life and show him that I am not
that “sho’ good eatin’” that he persists in imagining.
BY WAY OF CONCLUSION
I fi nd myself suddenly in the world and I recognize that I have
one right alone: That of demanding human behavior from the
other. One
Perspektif Poskolonial Spivak dan Fanon
Baik Spivak maupun Fanon dalam kajian Poskolonial melihat adanya dua kelas yang dibedakan atas status, kedudukan dan kekuasaan.  Spivak melihat bahwa kelas subaltern merupakan orang-orang yang tertindas, inferior yang mendapat perlakuan tidak adil dari orang-orang yang menjajah (kolonisasi). Ada trauma yang dialami oleh orang-orang yang terjajah. Spivak memberi istilah subaltern sebagai kelas yang tertekan, dimana dia tidak dapat menyuarakan apa yang dirasakan dan apa yang diinginkannya. Harus ada orang yang merepresentasikan suara mereka. Namun siapa? Karena representasi itu hanya ada pada diri mereka sendiri, dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk bersuara Oleh karena itu, perlu ada orang yang dapat membantu  “mengeluarkan’ suara mereka dengan jalan meningkatkan kehidupan mereka dengan memberikan pendidikan dan pengetahuan akan hak-hak yang seharusnya mereka peroleh.  
Dimasa kini, poskolonialisasi dapat saja terjadi dalam bentuk “penjajahan”  ekonomi, dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, dan dapat terjadi subalternisasi pada kalangan miskin. Perhatian harus diberikan kepada mereka agar  tidak menjadi kelompok yang bungkam, tidak dapat menyuarakan dan memperjuangkan hak dan kepentingannya. Mungkin ini salah satu  yang dimaksud oleh Spivak, dalam artikelnya “Can Subaltern Speak?”
Fanon juga melihat adanya inferioritas dalam kalangan orang-orang negro, dimana mereka mendapat perlakuan tidak  adil dari kalangan orang-orang kulit putih. Kesan buruk, jahat dan bodoh seringkali digambarkan oleh orang kulit putih terhadap mereka. Adanya dominasi dan kekuasaan atas orang kulit putih terhadap pulit hitam. Serta ada “pemaksaan” citra buruk terhadap orang kulit hitam melalui literatur atau kisah-kisah yang terdapat di majalah. Ada Supremasi dimana orang kulit merasa lebih unggul. Supremasi ini ingin dihilangkan oleh Fanon dan berusaha untuk meningkatkan kesamaan derajat bagi setiap manusia, hal ini dapat diraih bila  orang Hitam dapat mengangkat dirinya menjadi golongan orang terpelajar sehingga dapat memperoleh simbol status yang lebih baik.
Bila Sipivak mengambil pelajaran dari koloanialisasi negaranya India, yang dijajah oleh Inggris, maka Fanon mengalaminya sendiri sebagai orang kulit hitam berwarganegara Prancis yang pernah ditempatkan di negara jajahan Prancis, Ajazair. Mengenai White Supremacy, dialami juga oleh bangsa Indonesia ketika dijajah oleh Belanda. Indonesia (Hindia Belanda) sebagai negara jajahan kala itu, pada akhir tahun 1870an. Penduduknya, disebut kaum pribumi sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Hidup sebagai djongos, bahkan (sebelum perbudakan dihapus), mereka juga diperlakukan sebagai budak. Para perempuan pribumi banyak yang diambil sebagai gundik. Kisah ini sekedar menambah  pengetahuan  mengenai  white supremacy di Indonesia :
Di koloni, setiap orang Eropa menaiki tangga status sosial begitu mereka menjejakkan kaki di daratan, Semuanya tergantung warna kulit dan hal itulah yang meningkatkan  asal-usul dan kedudukan di masyarakat. Hal itu berlaku bagi setiap kulit putih. “Seorang kulit puti masuk ke sebuah toko, katakanlah toko milik seorang jutawana India. Sang jutawanpun membungkuk sedalam-dalamnya dihadapan tuan putih, yang mungkin hanya seorang pelaut berpakaian bagus, sorang penjahat atau seorang petualang, Meskipun demikian ia tetap seorang tuan putih”.  Seorang yang berasal dari lapisan rendah masyarakat Eropa, kaum paria, langsung memperoleh kedudukan yang sangat berbeda di Hindia Belanda. Susunan kemasyarakatan langsung diputarbalikkan sepenuhnya. ‘Sekarang saya adalah sesorang, saya bagian dari ras yang memerintah dunia, tidak pernah terpikirkan sebelumnya dibenak saya bahwa saya bisa menikmati begitu banyak hak istimewa hanya karena berkulit putih”. Masyarakat kolonial Eropa yang terdiri dari pendatang baru pada tahun 1880 terdapat 19,5 juta penduduk pribumi sedangkan orang Eropa hanya berjumlah 50.000. mereka tersebar di kota-kota besar di Jawa, seperti Bataia, Bandung, Surakarta, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya.  Meski jumlahnya sedikit dan persebarannya terbatas, namun mereka merupakan kaum penguasa absolut. 
Sumber :
  1. Gandhi, Leela. Postcolonial Theory: A Critical Introduction . Australia: Allen& Unwin, 1998 (Dari diktat bahan ajar semester genap  tahun 2010/2011 Departemen Sosiologi FISIP UI).
2. Edward W. Said. Orientalisme. Menggugat Hegemoni Barat dan mendudukkan Timur sebagai Subjek.  Pustaka Pelajar 2011.

Creussol dan Borel , Een Werkkring in Indie dalam Buku karya Reggie Baay: Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Komunitas Bambu, Mei 2010 hal 83
Ibid. Hal 85
Kompas, 12 Maret 2006. Diambil dari tulisan di Blog Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy
Leela Gandhi, Postcolonial Yheory: A Critical Introduction. Australia: Allen&Adwin, 1998.Hal 1
Edward W Said, Orientalisme, op cit. Hal 48
Internet Encyclopedia of Philosophy. http://www.iep.utm.edu/fanon/
Frantz Fanon. Black Skin, White Masks. Trans. Charles Lan Markmann. New York: Groe, 1967 . E-Book. hal 178-179

Szekely, van oerwoud tot Plantage, 67 dalam Reggie Bay: Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Op cit. Hal 37-38


Herbert Spencer: Sang Filsuf Inggris (1820-1903)











Herbert Spencer adalah seorang filsuf Inggris dan penulis yang produktif. Dia menulis empat esai tentang pendidikan, yang akan ditinjau secara terpisah, dan dikenal karena mengemban bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang berharga terbesar.


Ia juga dikenal untuk kutipan terkenal berikut:


"Tujuan besar pendidikan bukan pengetahuan, tapi tindakan."


"Untuk disiplin, serta untuk bimbingan, ilmu adalah nilai chiefest. Dalam semua dampaknya, belajar arti dari hal-hal lebih baik daripada belajar arti kata-kata. "


"Mereka yang tidak pernah masuk pada kegiatan ilmiah tahu bukan persembahan persepuluhan dari puisi dimana mereka dikelilingi."


"Pendidikan memiliki tujuannya sebagai pembentukan karakter."


"Ilmu ini disusun pengetahuan."


"Orang-orang mulai melihat bahwa syarat pertama yang sukses dalam hidup adalah menjadi hewan yang baik."


"Dalam ilmu yang penting adalah untuk memodifikasi dan mengubah ide-ide seseorang sebagai kemajuan ilmu pengetahuan."


"Perilaku manusia dengan binatang, dan perilaku mereka satu sama lain, menanggung hubungan konstan."


"Ini tidak bisa tidak terjadi ... bahwa mereka akan bertahan hidup yang fungsinya kebetulan paling hampir dalam kesetimbangan dengan agregat modifikasi dari kekuatan eksternal ... Ini survival of the fittest menyiratkan perkalian yang terkuat."


"Kemajuan, oleh karena itu, bukan kecelakaan, tapi sebuah kebutuhan ... Ini adalah bagian dari alam."


"The survival of the fittest, yang telah saya di sini berusaha untuk mengekspresikan dalam hal mekanik, adalah bahwa yang Mr Darwin telah disebut" seleksi alam, atau pelestarian ras disukai dalam perjuangan seumur hidup. "


"Ketika pengetahuan seorang pria adalah tidak dalam rangka, lebih dari itu ia, semakin besar akan kebingungan."


"Tidak pernah mendidik seorang anak untuk menjadi pria atau wanita saja, tetapi menjadi pria, seorang wanita."


"Seberapa sering disalahgunakan kata menghasilkan pikiran yang menyesatkan."


"Hasil akhir dari laki-laki melindungi dari efek kebodohan, adalah untuk mengisi dunia dengan orang bodoh."


"Setiap penyebab memproduksi lebih dari satu efek."


"Pemerintah pada dasarnya tidak bermoral."


"Hidup adalah penyesuaian terus menerus hubungan internal untuk hubungan eksternal."


"Musik harus peringkat sebagai yang tertinggi dari seni rupa - sebagai salah satu yang, lebih dari apapun, menteri lain untuk jiwa manusia."


"Tidak ada yang bisa sangat bebas sampai semua bebas, tidak ada yang bisa menjadi sempurna moral yang sampai semua adalah bermoral; tidak ada yang bisa sangat bahagia sampai semua bahagia."


"Orang-orang mulai melihat bahwa syarat pertama yang sukses dalam hidup adalah menjadi hewan yang baik."


"Ada prinsip yang merupakan bar terhadap semua informasi, yang merupakan bukti terhadap semua argumen dan yang tidak dapat gagal untuk menjaga manusia dalam ketidaktahuan abadi -. Prinsip bahwa adalah penghinaan sebelum penyelidikan"


"Ibu, ketika anak-anak Anda mudah marah, tidak membuat mereka lebih sehingga dengan omelan dan kesalahan-temuan, tetapi memperbaiki lekas marah mereka dengan sifat yang baik dan mirthfulness. Lekas ​​marah berasal dari kesalahan dalam makanan, udara yang buruk, tidur terlalu sedikit, kebutuhan bagi perubahan suasana dan sekitarnya;. Dari kurungan di kamar dekat, dan kurangnya sinar matahari "


"Banyak lebih mahal menjadi hal yang datang melalui penderitaan keras."


"Kita juga sering lupa bahwa tidak hanya ada jiwa kebaikan dalam hal-hal jahat, tapi sangat umum jiwa kebenaran dalam hal-hal yang salah."


"Hidup kita universal disingkat dengan ketidaktahuan kita."


"Jadilah berani, berani, dan di mana-mana berani."



Profil Herbert Spencer












Dikenal Sebagai filsuf yang:

  • Mengembangkan dan menerapkan teori evolusi untuk filsafat, psikologi dan studi masyarakat.
  • Membantu mengembangkan perspektif fungsionalis, salah satu kerangka teoritis utama dalam sosiologi.
  •  Pengethuan politiknya  , terutama pembelaannya terhadap hak alam dan kritik positivisme utilitarian.







Lahir:

Herbert Spencer lahir April 27, 1820.
Kematian:

Dia meninggal 8 Desember 1903.
Awal Hidup dan Pendidikan:

Herbert Spencer lahir di Derby, Inggris. Ia adalah sulung dari sembilan anak, tetapi satu-satunya untuk bertahan hidup bayi. Ayah Spencer adalah seorang guru sekolah, namun dia sangat tidak konvensional dan Herbert karena itu menerima pendidikan sebagian besar informal dan tidak disiplin. Spencer memiliki kepentingan eklektik banyak dan akhirnya dilatih sebagai seorang insinyur sipil untuk kereta api. Pada awal 20-an, namun, ia berpaling ke tulisan jurnalisme dan politik.
Karir dan Kehidupan Setelah itu:

Dari tahun 1848 hingga 1853, Spencer bekerja sebagai penulis dan redaktur bagian untuk The Economist mingguan keuangan. Dalam tulisan awal, Spencer membela sejumlah penyebab radikal, terutama pada nasionalisasi tanah, sejauh mana ekonomi harus mencerminkan kebijakan laissez-faire, dan tempat dan peran perempuan dalam masyarakat. Dia akhirnya datang untuk meninggalkan sebagian besar penyebab ini kemudian dalam hidupnya.

Pada tahun 1851 Spencer menulis buku pertamanya, Statika Sosial: Kondisi Esensial Menuju Kebahagiaan Manusia. 'Statika sosial' adalah istilah yang dipinjam dari Spencer Auguste Comte, yang berkaitan dengan kondisi tatanan sosial. Dalam Statika Sosial, Spencer memperkirakan kemanusiaan yang akhirnya akan menjadi benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan hidup di masyarakat dengan konsekuensial melenyapnya negara.

Paman Spencer meninggal pada tahun 1853, meninggalkan dia sedikit warisan yang memungkinkan dia untuk mengabdikan dirinya untuk menulis tanpa tergantung pada kerja biasa. Pada tahun 1855, Spencer menerbitkan buku kedua, Prinsip Psikologi, yang jauh kurang berhasil dibandingkan buku pertamanya. Saat itu sekitar kali ini bahwa Spencer juga mulai mengalami masalah kesehatan yang serius mental, yang akan mempengaruhi dia untuk sisa hidupnya. Karena itu, ia mencari privasi dan jarang keluar di depan umum. Ia juga terbatas dalam hal berapa banyak pekerjaan yang bisa dia lakukan dan hanya mampu menulis selama beberapa jam setiap hari. Ia kemudian memulai sebuah proyek panjang, yang volume sembilan Sistem Filsafat Sintetis, yang menulis antara 1862 dan 1893. Di dalamnya, ia memberikan account sistematis dari pandangannya dalam biologi, sosiologi, etika dan politik dan disajikan gagasannya bahwa masyarakat adalah organisme yang maju melalui suatu proses evolusi serupa dengan yang dialami oleh spesies hidup, sebuah konsep yang dikenal sebagai Darwinisme sosial.

Di antara banyak penghargaan ia diberi, Spencer dinominasikan untuk Hadiah Nobel untuk Sastra tahun 1902. Dia menolak sebagian besar pujian yang diberikan.


Major Publications
  • Social Statics: The Conditions Essential to Human Happiness (1850)
  • Education (1854)
  • The Principles of Psychology (1855)
  • The Principles of Sociology (1876-1896)
  • The Data of Ethics (1884)
  • The Man Versus the State (1884)
References
Sweet, W. (2004). Herbert Spencer. Internet Encyclopedia of Philosophy, http://www.iep.utm.edu/spencer/



 Jurgen Habermas
Jurgen Habermas
Darren McCollester/Getty Images
Profil Jurgen Habermas













 Dikenal Sebagai:

  • Seorang filsuf dalam tradisi teori kritis dan pragmatisme.
  • Teorinya pada konsep "rasionalitas komunikatif" dan "ruang publik."
  • Karyanya pada konsep modernitas.



Lahir:

Jurgen Habermas lahir 18 Juni 1929. Dia masih hidup.
Kehidupan awal:

Habermas lahir di Dusseldorf, Jerman dan besar di era pasca perang. Dia di awal remaja selama Perang Dunia II dan sangat terpengaruh oleh perang. Dia pernah bertugas di Pemuda Hitler dan telah dikirim ke depan membela barat selama bulan-bulan terakhir perang. Setelah Peradilan Nuremberg, Habermas memiliki kesadaran politik di mana ia menyadari kedalaman kegagalan Jerman moral dan politik. Kesadaran ini berdampak abadi pada filosofi di mana ia sangat menentang tindakan politik kriminal.
Pendidikan:

Habermas belajar di Universitas Gottingen dan University of Bonn. Dia meraih gelar doktor dalam filsafat dari Universitas Bonn pada tahun 1954 dengan disertasi ditulis pada konflik antara absolut dan sejarah dalam pemikiran Schelling. Dia kemudian melanjutkan untuk belajar filsafat dan sosiologi di Institut untuk Penelitian Sosial di bawah teori kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno.
Awal Karir:

Pada tahun 1961, Habermas menjadi dosen swasta di Marburg. Tahun berikutnya ia menerima posisi "profesor luar biasa" filsafat di Universitas Heidelberg. Pada tahun yang sama, Habermas mendapat perhatian publik yang serius di Jerman untuk Transformasi Struktural buku pertama dan Ruang Publik di mana ia rinci sejarah sosial pengembangan ruang publik borjuis. Kepentingan politiknya kemudian membuatnya melakukan serangkaian studi filosofis dan kritis-sosial analisis yang akhirnya muncul dalam buku-bukunya Menuju Masyarakat Rasional (1970) dan Teori dan Praktek (1973).
Karir dan pensiun:

Pada tahun 1964, Habermas menjadi ketua filsafat dan sosiologi di Universitas Frankfurt am Main. Dia tetap ada sampai tahun 1971 di mana ia menerima jabatan direktur di Institut Max Planck di Starnberg. Pada tahun 1983, Habermas kembali ke Universitas Frankfurt dan tinggal di sana sampai ia pensiun pada tahun 1994.

Sepanjang karirnya, Habermas menganut teori kritis Mazhab Frankfurt, yang memandang masyarakat Barat kontemporer sebagai mempertahankan konsepsi bermasalah rasionalitas yang merusak dalam impuls ke arah dominasi. Kontribusi utama terhadap filsafat, bagaimanapun, adalah pengembangan teori rasionalitas, unsur umum dilihat di seluruh karyanya. Habermas yakin bahwa kemampuan untuk menggunakan logika dan analisis, atau rasionalitas, melampaui perhitungan strategis bagaimana mencapai tujuan tertentu. Ia menekankan pentingnya memiliki sebuah "situasi bicara ideal" di mana orang dapat meningkatkan keprihatinan moral dan politik dan membela mereka dengan rasionalitas saja. Konsep situasi pidato yang ideal dibahas dan diuraikan pada tahun 1981 bukunya The Theory of Communicative Action.

Habermas telah memperoleh banyak penghargaan sebagai guru dan mentor bagi banyak teori dalam sosiologi politik, teori sosial, dan filsafat sosial. Sejak pensiun dari mengajar ia terus menjadi seorang pemikir dan penulis aktif. Dia saat ini menduduki peringkat sebagai salah satu filsuf paling berpengaruh di dunia dan merupakan tokoh terkemuka di Jerman sebagai intelektual publik, sering mengomentari isu kontroversial dari hari di surat kabar Jerman. Pada tahun 2007, Habermas tercatat sebagai penulis paling-dikutip 7 di humaniora dengan Panduan Times Higher Education.


Major Publications:
  • Structural Transformation and the Public Sphere (1962)
  • Theory and Practice (1963)
  • Knowledge and Human Interests (1968)
  • Towards a Rational Society (1970)
  • Legitimation Crisis (1973)
  • Communication and the Evolution of Society (1979)
References
Jurgen Habermas - Biography. (2010). The European Graduate School. http://www.egs.edu/library/juergen-habermas/biography/
Johnson, A. (1995). The Blackwell Dictionary of Sociology. Malden, Massachusetts: Blackwell Publishers.
http://sociology.about.com/od/Profiles/p/Jurgen-Habermas.htm





MAKALAH :SEJARAH DAN KONSEP DASAR POSTMODERNISME



KATA PENGANTAR




Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat untuk menyelesaikan makalah ini, tentunya penulis memiliki keterbatasan yang menyebabkan makalah ini tidak sesempurna yang diharapkan.
Makalah yang berjudul “SEJARAH DAN KONSEP DASARPOSTMODERNISME” ini akan membahas sejarah dan konsep dasarpostmodernisme; indikator postmodernisme; dan analisis fenomena faktual.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk semakin bermutunya masalah dalam makalah ini.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam menyelesaikan makalah ini. Khususnya kepada Pak Izhar Lubis, S.Pd sebagai dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Sastra yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.






Sosorgadong, Januari 2012
Penyusun


















DAFTAR ISI




Kata Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi................................................................................................................... ii


BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................2
1.3 Batasan Masalah.............................................................................. 2
1.4 Tujuan Penulisan.................................................................... .........2


BAB II KAJIAN TEORITIK.............................................................................. 3
2.1 Sejarah dan Konsep Dasar Postmodernisme.................................3
2.2 Indikator Postmodernisme..............................................................9
2.3 Analisis Fenomena Faktual.............................................................12


BAB III KESIMPULAN DAN SARAN..................................................... .........15
3.1 Kesimpulan....................................................................................... 15
3.2 Saran-Saran..................................................................................... 17


DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 18












BAB I
PENDAHULUAN




1.1 Latar Belakang
Istilah Postmodernisme sangat membingungkan, bahkan meragukan. Asal usulnya adalah dari wilayah seni: Musik, seni rupa, roman dan novel, drama, fotrografi, arsitektur. Dan dari situ merembet menjadi istilah mode yang dipakai oleh beberapa wakil dari beberapa ilmu. Dan akhirnya istilah itu oleh filosof Prancis, Jean-Francois Lyotard, dimasukkan ke dalam kawasan filsafat dan sejak itu diperjualbelikan sebagai sebuah “isme” baru.
Istilah “Postmodernisme” membingungkan karena memberikan kesan bahwa kita berhadapan dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti Marxisme, eksistensialisme, kritisisme, idealisme, dan lain-lain. Padahal para pemakai label itu biasanya tidak berbicara tentang “postmodernisme”, melainkan tentang “pemikiran pascamodern”. Misalnya Rorty atau Derrida, amat beraneka ragam cara pemikirannya. Di Indonesia, sesuai kebiasaan, kita malah malas mengungkapkan seluruh kata “postmodernisme” dan menggantikannya dengan “posmo”. Sesuai dengan gaya berfikir mitologis dan parsial dimana yang penting simbolnya saja, bukan apa yang sebenarnya dimaksud.
Padahal pemikiran “posmo” itu ada banyak dan tidak ada kesatuan paham. Namun benar juga, ada sesuatu yang mempersatukan pendekatan-pendekatan itu, atau lebih tepatnya ada dalam filsafat modern salah satu kecenderungan yang muncul dalam bentuk-bentuk berbeda, namun ada kesamaan wujudnya, dan barangkali itulah kesamaan segala macam gaya berfikir yang ditemukan unsur “posmo”- nya itu.
Dapat dikatakan bahwa “postmodernisme” lebih merupakan sebuah suasana, sebuah naluri, sebuah kecenderungan daripada sebuah pemikiran eksplisit. Kecenderungan itu lalu memang mendapat ekspresi melalui pelbagai sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lian. Adalah jasa istilah “postmodernisme” bahwa dengan demikian kita memperoleh sebuah payung konseptual untuk melihat kesamaan di antara mereka itu yang umumnya justru mencolok ketidaksanaannya.
Untuk menghindari kebingungan yang lebih lanjut, maka penulis akan membahas postmodernisme secara lebih gamblang dalam pembahasan makalah ini. Setidaknya ada tiga unsur atau elemen yang akan dibahas lebih rinci dalam pembahasan nanti. Yang pertama adalah mengenai sejarah ataupun konsep dasar dari postmodernisme itu sendiri. Yang kedua adalah mengenai ciri atau indikator daripada postmodernisme. Serta yang ketiga adalah mengenani fenomena faktual yang terkait dengan postmodernisme.


1.2 Rumusan Masalah
Merujuk dari latar belakang di atas, maka penulis di sini memberikan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah dan konsep dasar postmodernisme?
2. Apa saja yang termasuk ke dalam indikator postmodernisme?
3. Bagaimana analisis fenomena faktual dalam postmedernisme?


1.3 Batasan Masalah
Dari rumusan masalah d atas, maka dapat pualah di tentukan batasan masalah dalam makalah ini, yakni:
1. Sejarah dan konsep dasar postmodernisme.
2. Indikator postmodernisme.
3. Analisis fenomena faktual.


1.4 Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, dan batasan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah dan konsep dasar postmodernisme.
2. Untuk mengetahui indikator postmodernisme.
3. Untuk mengetahui analisis fenomena faktual.
***


BAB II
KAJIAN TEORITIK




2.1 Sejarah dan Konsep Dasar Postmodernisme
Miletos, kota kecil di gugusan kepulauan Yunani abad ke-6 SM adalah tempat bermulanya cerita besar tentang penaklukan alam oleh manusia. Di kota itulah sebermula runtuhnya mitos-mitos arkhaik tentang alam yang berupa dongeng, fabel ataupun kepercayaan. Sejak saat itu manusia serta-merta memberontak dari kungkungan kebudayaan mitologis dan berusaha menggunakan akalnya untuk menjelaskan dunia.
Sejarah penaklukan alam dibawah tatapan akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani, mempertegas usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, Kenalilah dirimu sendiri. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran sang guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia. Menurut Plato, manusia terdiri dari tiga tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia), kehendak (thymos) dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi, sekaligus mengatur dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain. Pandangan Plato tentang manusia ini membawanya pada konsepsi negara ideal yang analog dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog dengan rasio). Kedua, para prajurit (analog dengan kehendak). Ketiga, para petani dan tukang (analog dengan tubuh) (Harun Hadiwijono, 1994: 43-44). Dengan konsepsi seperti ini Plato memperteguh keyakinan subjektivitas manusia dengan konstruksi kebudayaan (negara) yang berpijak pada rasio.
Sejarah filsafat berikutnya bergulir sampai pada satu titik yang memiliki makna penting bagi kelahiran era modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke-14 M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap kebekuan pemikiran abad pertengahan. Renaisans yang berarti kelahiran kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama yang beku selama abad pertengahan; keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan martabat manusia (Harun Hadiwijono, 1994: 11-12). Makna penting Renaisans dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai tempat persemaian benih Pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern.
Seorang filsuf besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus arsitek utama filsafat modern. Dengan mengadopsi dan mensintesakan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya, Descartes berambisi membangun metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui strategi kesangsian metodis. Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes ingin menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan. Itulah kepastian bahwa Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu. Rumusan terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, Cogito ergo sum, Aku berpikir maka aku ada. Dengan diktum ini, rasio sekali lagi diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua filsuf Jerman, Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia. Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori). Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Ahmad Sahal, 1994: 13). Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner.
Sejarah pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya merasuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang menghantar manusia pada realitas baru. (Awuy, 1995: 41). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas ditandai dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat, penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya industri informasi televisi, koran, iklan, film, internet berkembangnya konsep nation-state (negara-bangsa), demokratisasi dan pluralisme.
Namun dalam penampilannya yang mutakhir tersebut, modernisme mulai menampakkan jati dirinya yang sesungguhnya: penuh kontradiksi, ideologis dan justru melahirkan berbagai patologi modernisme. Modernisme inilah yang telah mencapai status hegemonis semenjak kemenangan Amerika dan para sekutunya dalam Perang Dunia II (Ariel Heryanto, 1994: 80), yakni modernisme yang tidak lagi kaya watak seperti saat awal kelahirannya, namun modernisme yang bercorak monoton, positivistik, teknosentris dan rasionalistik; modernisme yang yakin secara fanatik pada kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem produksi.
Unsur-unsur utama modernisme: rasio, ilmu dan antropomorphisme, justru menyebabkan reduksi dan totalisasi hakekat manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah memberikan sumbangannya terhadap bangunan kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Namun di sisi lain, modernisme juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi: dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali Perang Dunia, ancaman nuklir dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran postmodernisme terhadap modernisme.
Jejak-jejak pemikiran yang bernaung di bawah payung postmodernisme dalam banyak bidang kehidupan: seni, sastra, politik, ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan filsafat sebenarnya sudah dapat dilacak jauh ke alur sejarah modernisme sendiri. Lahirnya beragam bentuk realitas baru: seni bumi, seni video, sastra marjinal, sastra yang terdiam, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche, Husserl, Heidegger, hingga Mahzab Frankfrut adalah benih-benih lahirnya pemikiran postmodernisme.
Terutama dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984). Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus di delegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995: 161). Persis permainan catur, dimana setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, seperti dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni merupakan indikasi lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau menaklukan realitas lain (Lash, 1990: 234).
Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear yang disebutnya Grand Narrative telah kehilangan legitimasi (Awuy, 1995: 158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.
Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Ahmad Sahal, 1994: 21). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan antara konsep-metafor, kebenaran-fiksi, filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.
Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan Perancis Michel Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi antara pengetahuan murni dan pengetahuan ideologis, Foucault menyatakan pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan. Selanjutnya menurut Foucault kekuasaan tidaklah seperti yang dipahami kaum Weberian atau Marxian. Kaum Weberian memahami kekuasaan sebagai kemampuan subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain. Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, tidak memiliki, melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana (Ahmad Sahal, 1994: 17). Pandangan tentang kuasa/pengetahuan yang tidak berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa Foucault untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian. Baginya rasio tidak universal, karena seperti disuarakan Charles Baudelaire, seorang penyair Perancis ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni: ironi. Karenanya Foucault sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tak jamak semisal penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara, pabrik, seks, pasien dan kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan dengan pilihan ini, sekali lagi Foucault meneguhkan semangat emansipasi kaum tertindas yang telah diawali oleh Lyotard dan Derrida.
Postmodernisme secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme. Sementara itu modernisme itu sendiri diartikan oleh Lyotard (Berstens, 1996) sebagai proyek intelektual dalam sejarah dan kebudayaan Barat yang mencari kesatuan di bawah bimbingan suatu ide pokok yang terarah kepada kemajuan dimana “Aufklarung” (masa pencerahan) pada abad ke-18 menandai proyek besar ini.
Sebagai gerakan pemikiran, postmodernisme ‘berhasil’ menawarkan opini, melontarkan apresiasi dan menikamkan kritik yang tajam terhadap wacana modernitas dan kapitalisme (global) mutakhir. Di tengah kemapanan dan pesona yang ditawarkan oleh proyek modernisasi dengan rasionalitasnya, postmodernisme justru ditampilkan dengan sejumlah evaluasi kritis dan tajam terhadap impian-impian masyarakat modern. Kritik tersebut, tidak saja mengagetkan dunia publik intelektualitas Barat yang sejak beberapa abad terbuaikan oleh modernisme yang membius melalui ciptaan sains dan teknologinya.
Istilah postmodernisme diketahui muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an menggunakan dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari modernisme. Kemudian di bidang historiografi digunakan oleh Arnold Toynbee dalam “A Study of History” tahun 1947, dan sekitar tahun 1970, Ilhab Hasan menerapkan istilah ini dalam dunia seni dan arsitektur. Pada akhirnya istilah postmodernisme menjadi lebih popular manakala digunakan oleh para seniman, pelukis dan kritikus.
Sehingga demikian ada banyak ragam dan terminologi dan makna dalam istilah postmodernisme tergantung pada wilayah pendekatan yang berbeda sebagai berikut :
1. “Kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersamaan dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan” (Daniel Bell dalam “Beyond Modernism; Beyond Self”)
2. “Logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya” (Frederic Jameson dalam “New Left Review” tahun 1984)
Pada perkembangan selanjutnya, istilah postmodernisme dilembagakan dalam konstelasi filsafat oleh Francois Lyotard dalam bukunya “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge” tahun 1984. Lyotard menjelaskan bahwa akibat pengaruh teknologi informasi, maka prinsip kesatuan ontologis yang selama ini mendasari ide dasar filsafat modern sudah tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer.
Maka itu prinsip homologi (kesatuan ontologis) harus didelegitimasi oleh paralogi (pluralisme) dengan tujuan agar kekuasaan, termasuk kekuasaan oleh ilmu pengetahuan, tidak lagi jatuh pada sistem totaliter yang biasanya bersifat hegemonik dan pro status-quo atau meminjam terminologi Ibrahim Ali Fauzi bahwa postmodernisme adalah sebuah gerakan global renaissans atas renaissans yang diartikan ketidakpercayaan atas segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang men-totalisasi seperti Hegelianisme, Kapitalisme, Liberalisme, Marxisme, Nasionalisme, Komunisme, Sosialisme dan lainnya.
Cukup banyak peristiwa yang bisa dikumpulkan akibat ide narasi besar (meta-narasi) yang menandai kegagalan dari modernisme seperti kekejaman pasukan Nazi pada perang dunia kedua yang menandai kegagalan nasionalisme. Pemberontakan kaum buruh terhadap partai komunis yang terjadi di Berlin (1953), Budapest (1956) dan Polandia (1980) yang menunjukkan betapa komunisme sebagai ideologi totaliter mengandung banyak kotradiksi, yaitu bahwa pekerja memberontak terhadap partai yang memperjuangkan nasib mereka sendiri. Dan banyak kejadian lainnya yang bisa disebutkan termasuk aneksasi neo-liberalisme dan neo-kapitalisme Amerika Serikat terhadap Irak.
Dalam konteks ini tidak berlebihan apabila janji modernitas, yang dibangun oleh rasionalitas, untuk mencapai emansipasi manusia dari kemiskinan, kebodohan, prasangka dan tiadanya rasa aman dianggap tidak masuk akal. Modernisme disamping menciptakan kemajuan teknologi juga menciptakan totalitarianisme, pembunuhan yang lebih massif (genosida) dan aneksasi kolonialisme yang membabi buta. Sehingga demikian, Lyotard menolak segala macam bentuk meta-narasi, yang ada bukan kebenaran tetapi kebenaran-kebenaran yaitu kebenaran majemuk dan lokal (mini-narasi).


2.2 Indikator Postmodernisme
Akbar S. Ahmed dalam bukunya Posmodernisme dan Islam menyebutkandelapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu. Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.
Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi. Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks.
Sedangkan menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, postmodernisme menganggap modernisme telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain :
Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian. Ketiga, ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat, ada semacam keyakinan yang sesungguhnya tidak berdasar, bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya. Ternyata keyakinan ini keliru manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Dan Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu.
Postmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain (the other) yang berada di luar wacana hegemoni.
Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”)
Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmodenisme menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal, yaitu:
1 Kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi sosial-ekonomi seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoritis untuk secara sewenang-wenang merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip kapitalisme;
2 Modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan gagasan bahwa sejarah merupakan suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan
3 Erat kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi perkembangan sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya meperhitungkan aspek-aspeknoble material dan mengesampingkan vulgar material sehingga berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi adalah akibat rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran yang meliputi Marxisme Barat, struktualisme Prancis, nihilisme, etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.
Heterogenitas inilah yang barangkali menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.


2.3 Analisis Fenomena Faktual
Jika kita melihat dan menelaah konteks politik hari ini, masalah postmoderrnisme juga kerap muncul. Modernisme dengan konsep universalismenya menghendaaki semua Negara menerapkan sistem demokrasi. Namun demokrasi yang diperjualbelikan adalah demokrasi ala Amerika yang konon katanya paling demokratis. Amerika serikat juga didaulat, jika tidak pantas disebut mendaulatkan diri, sebagai Negara penjunjung tinggi HAM.
Untuk dapat menjunjung tinggi HAM seperti Amerika Serikat, maka sistem demokrasi harus dianut terlebuh dahulu. Jadi, Negara manapun yang ingin menghargai Hak Azasi warganya harus menerapkan sistem demokrasi ala Amerika Serikat. Sebab Amerika Serikat lagi-lagi dianggap sebagai Negara terdepan pengimplementasi demokrasi. Hal tersebut kemudian lebih ditekankan lagi dalam peraturan lembaga internasional (United Nation). Semua Negara yang menjadi anggota United nation diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM.
Tidak ada masalah jika Negara anggota United Nation diwajibkan menjunjung tinggi HAM. Yang menjadi masalah adalah ketika demokrasi dianggap satu-satunya jalan untuk menjunjung tinggi HAM. Secara tidak langsung, mereka telah menafikan sistem lain seperti Kerajaan Khilafah dan sistem politik lokal. Oleh karena demokrasi merupakan satu-satunya jalan, maka Negara yang ingin menjunjung tinggi HAM harus pula menganut sistem demokrasi. Barang siapa (negara) yang tidak mau menjunjung tinggi HAM (menganut demokrasi), maka akan dikenai sanksi oleh lembaga tertinggi dunia tersebut. Sanksi dapat beraneka ragam, mulai dari embargo sampai penjajahan yang berkedok penyelamatan umat manusia.
Para postmodernis melihat proyek pendemokrasian tersebut sebagai akibat dari modernisme. Sebab dalam modernism terdapat satu cirri penting, yaitu universalisme dalam segala bidang. Selain universalisme, ada juga karakter penting dari modernism yaitu Oposisi Biner (jika A benar, maka B pasti salah). Modernism beranggapan bahwa demokrasi Amerika Serikat sudah benar, maka sesuai dengan prinsip oposisi biner, semua sistem diluar itu adalah salah.
Postmodernisme lahir untuk mengkritik semua ambisi dan proyek mahabesar modernism tersebut. Universalisme yang ditawarkan oleh modernism tidak mungkin bias tercapai, sebab dunia ini dipenuhi oleh perbedaan dan keanekaragaman baik dalam hal ekonomi, social, politik dan terlebih lagi budaya. Merupakan sebuah kemustahilan jika kita ingin membuat semua Negara yang penuh dengan warna dan perbedaan tersebut hidup dengan satu cara yang sama.
Berkaitan dengan masalah HAM juga demikian halnya. Amerika serikat mengaku sebagai penjunjung tinggi Ham, tetapi mereka pulalah yang membunuh puluhan bahkan ratusan ribu rakyat sipil di Irak. Amerika pulalah yang membuat dan menghidupkan penjara Guantanamo, yang notabene pelanggaran besar terhadap HAM. Dengan label menjunjung tinggi HAM pulalah, amerika serikat kerap melakukan genosida (pembunuhan secara massal). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dimana HAM yang dijunjung tinggi tersebut.
Selain hal tersebut diatas, satu karakter penting modernism yang dikritik oleh postmodernisme adalah Oposisi biner. Tidak ada yang salah dan benar dalam dunia ini. Akan tetapi semuanya memiliki kebenaran masing-masing. Contoh yang paling sering diangkat oleh para postmodernis adalah masalah budaya dan agama. Semua budaya yang terdapat dimuka bumi ini memiliki cerita dan makna masing-masing. Demikian juga halnya dengan agama, semua punya kebenaran tersendiri. Tidak ada agama yang salah dan agama yang benar, namun semua agama memiliki dan membawa kebenarannya.
Demikian jugalah pula dengan sistem politik yang akan dianut oleh setiap Negara. Demokrasi yang dianut oleh Amerika serikat mempunyai kebenaran, tetapi sistem kerajaan yang dianut oleh Inggris juga mempunyai kebenarannya sendiri. Begitu juga dengan sistem politik di Negara atau daerah lain (politik local / identitas misalnya) mempunyai kebenaran tersendiri lagi.
Untuk mengatasi semua perbedaan dan banyaknya kebenaran yang ada tersebut. Maka postmodernisme menawarkan satu prinsip baru, yaitu Paralogi. Bahwa semua bias hidup dalam keberagaman, yang dibingkai dalam prinsip Multikulturalisme. Atau jika kita melihat Negara Indonesia misalnya, ada istilah Bhineka Tungggal Ika (walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua).
***












































BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN




3.1 Kesimpulan
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas: akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas (lokal naratif) atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut.
Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange).
Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa … perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan. Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity).
Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa.
Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman.Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern.
Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.


3.2 Saran-Saran
Sebagai penutup dari uraian makalah ini, penulis memberikan sejumlah saran yang kiranya mampu semakin mengembangkan ajaran postmodernisme ke arah positif dalam segala segi kehidupan. Di antara saran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ajaran postmodernisme merupakan ajaran yang semula dikembangkan dalam kehidupan untuk memudahkan manusia dalam kehidupannya, namun pada perkembangannya, banyak orang menyalahartikan konsep postmodernisme, untuk itu kepada kita sebagai calon guru kiranya mampu menempatkan aliran postmodernisme ini pada segi positif peserta didik kita nantinya
2. Sebagai calon guru, kita sepatutnya bisa memilah mana ajaran postmodernisme yang positif dan negatif agar kelak kita tidak memberikan hal yang keliu kepada peserta didik kita.
***


DAFTAR PUSTAKA




Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta
Ahmed, Akbar S. 1992. Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung
http://learning-of.slametwidodo.com/?s=modernisme diakses pada tanggal 27 Januari 2012
http://umum.kompasiana.com/2009/07/07/postmodernisme-101/ diakses pada tanggal 27 Januari 2012
Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Yayasa