Laman

Minggu, 24 Juni 2012


Fanatisme Sempit Versus Fanatisme Buta




Dalam keseharian sering kita mendengar istilah fanatisme diucapkan kepada orang atau tokoh yang punya sikap fanatik. Biasanya menyangkut pendirian pemahaman keagamaan, ideologi dan yang semacam dengannya. Gejala semacam ini hampir dapat ditemukan dalam berbagai komunitas, suku dan bangsa-bangsa didunia. Dapat disebut misalnya china hingga saat ini tetap memegang komunisme sebagai falsafah politiknya. Amerika demikian juga tetap menjadikan demokrasi dan liberalisme sebagai prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan mereka sendiri. Begitu pula dengan Iran atau juga arab saudi yang sama-sama memakai islam sebagai sistem bernegaranya, walaupun diantara kedua negara ini tidak  persis serupa dalam implementasinya.
Andai saya datang kemasing-masing negara diatas dan menawarkan Pancasila dipakai menggantikan ideologi mereka, kira-kira bersediakah mereka menerima tawaran saya ini. Karena menolak dan mereka tidak mau mengadopsi Pancasila, saya kemudian datang kembali dengan argumentasi yang menurut saya sendiri sudah hebat. Ternyata pendirian mereka tidak berubah sama sekali, bahkan resistensi mereka makin bertambah kuat. Apakah lantas saya kemudian boleh menuduh mereka punya sikap fanatik sempit.
Begitu juga saat saya dikesempatan berbeda berusaha menawarkan kepada komunitas ataupun ummat lain mengenai Pluralisme. Saya katakan dengan argumentasi bahwa semua agama sama benarnya. Tidak ada perbedaan antara orang yang datang ke masjid, ke gereja, ke wihara, atau ke pura.  Sama saja. Tidak ada yang sesat. Tidak ada yang kafir. Dan semua akan masuk surga. Jika kemudian mereka menolak doktrin pluralisme, apakah saya berhak menuduh mereka juga punya sikap fanatik sempit.

Manusia yang punya nalar sehat, artinya waras dan tidak hilang ingatan pasti mengetahui beda siang dan malam. Tidak mungkin saya mengatakan siang adalah malam. Atau malam adalah siang. Dua realitas yang berbeda, oleh karena itu mustahil dipandang sebagai sesuatu yang sama.  Demikian juga dalam memahani kebenaran dan kesesatan. Mustahil kesesatan juga kebenaran disaat yang sama. Atau sebaliknya, tidak mungkin kebenaran juga kesesatan diwaktu yang serupa. Realitas hanya satu. Tidak dua atau tiga. Jika tidak malam, pasti siang. Atau jika tidak benar maka pasti sesat. Dan mustahil ada benar, jika tidak ada sesat. Bagaimana kita akan mengetahui malam, jika tak pernah ada siang. Demikian juga dengan cara apakah orang akan mengenal kebenaran jika kesesatan memang tidak ada. Selama orang tidak bisa memahami perbedaan diantara keduanya, saya kira tidak keliru dan layak jika disebut sebagai fanatisme buta. Sebab pada kenyataannya akalnya tidak bekerja, pancainderanya juga tidak normal. Sehingga tidak dapat membedakan antara siang dan malam, antara kebenaran dan kesesatan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar