Laman

Minggu, 24 Juni 2012


Ilusi Kebebasan Berfikir Para Pemikir




Saat itu selain aktivitas berfikir para filsuf tidak melihat keistimewaan manusia dibanding hewan. Tidak ada beda cara makan, minum, atau cara tidur manusia dengan hewan. Nyaris serupa hampir tiada beda. Hingga para filsuf saat itu menyebut manusia tak lain dan tak bukan adalah hewan yang berfikir. Hingga masa kebangunan Eropa, berfikir ternyata oleh para filsuf renaisans masih dipandang sebagai hal yang paling esensi dari manusia.Keberadaan manusia disadari hanya pada saat manusia berfikir bahwa ia sedang berfikir. Artinya jika yang berfikir tidak lagi berfikir bahwa ia sedang berfikir maka ia bukan manusia dan layak diragukan eksistensi kemanusiaannya.
Pemikiran manusia tentang pikirannya rupanya tidak berhenti sampai disitu. Manusia mulai berfikir bahwa berfikir bukan sekedar kegiatan otak atik otak belaka. Bukan semata aktivitas menyadari keberadaannya. Manusia pun mulai menyadari jika berfikir bukan sekedar hal yang melekat dan menjadi sifat khas kemanusiaannya. Secara mengejutkan berfikir kemudian diklaim manusia sebagai haknya yang eksklusif. Lahirlah kemudian apa yang disebut kebebasan berfikir. Atas dasar inilah kemudian dikenal pula apa yang disebut dengan hak menyatakan pendapat baik lisan atau pun tulisan. Pernyataan hak ini kemudian dirasa perlu untuk dikodifikasikan sebagai bagian DUHAM yang konon telah disepakati secara universal.
Manusia diberagam belahan bumi larut dalam eforia menikmati kebebasan berfikir. Jika dulu berfikir sebatas sifat khas, sekarang sudah menjelma sebagai lembaga hak. Negara pun tak bisa mengintervensi kemerdekaan setiap manusia dalam menjalankan haknya ini. Bahkan dalam pandangan ekstrem, Tuhan sekalipun dipandang tidak berhak membatasi kebebasan manusia untuk berfikir. Manusia dipandang sebagai pusat realitas yang berhak menafsirkan, mereka-reka dan mendefinisikan segala sesuatu diluar dirinya, termasuk Tuhan. Buktinya Tuhan pun kemudian di klaim diciptakan oleh pikiran manusia.
Namun yang mengherankan, hingga saat ini tak satupun ada diantara para filsuf kontemporer yang mengklaim keberadaannya dalam dimensi materiil spirituil diciptakan oleh pikirannya sendiri. Manusia pun hingga saat ini tidak dapat merumuskan suatu teori yang menyatakan jawaban, kemana aku yang berfikir itu saat ia sedang berhenti berfikir karena tertidur. Apakah pikiran aku yang sedang berfikir itu telah buntu. Bukankah pada saat tertidur aku yang berfikir tidak sekalipun menyadari bahwa ia sedang berfikir atau tidak. Bahkan terhadap air liur yang menetes di bantalnya pun tak pernah dapat disadari oleh aku yang sedang berfikir ini. Akhirnya harus dikatakan bahwa yang benar adalah kebebasan berfikir bukanlah berfikir sebebas-bebasnya. Kebebasan berfikir hanya sampai pada saat manusia tidak dapat lagi berfikir bahwa ia sedang berfikir menyadari keberadaan aku yang sedang berfikir.http://filsafat.kompasiana.com/2012/06/24/ilusi-kebebasan-berfikir-para-pemikir/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar