Laman

Minggu, 24 Juni 2012


Kebebasan Bertindak dan (Ir)Rasionalitas: Kenapa yang Enak-enak itu (Kadang Perlu) Dilarang?





 

“Walikota New York Michael Bloomberg telah berkampanye tanpa kenal lelah melawan obesitas, melarang lemak yang disebut trans-fat di restoran dan memaksa rantai restoran untuk menambahkan informasi jumlah kalori di dalam menu-menu mereka. Usul terbarunya akan melarang minuman manis lebih dari 450 gram di restoran-restoran di kota, bioskop dan tempat-tempat lain di mana minuman dijual dalam jumlah besar.”
Jadi, usul apa-apaan lagi pak Walikota New York ini? Gak boleh beli Coca Cola dengan ukuran lebih besar dari 450 gram?  Kurang kerjaan aja begituan diatur…
Bukan (hanya) Coca Cola sih, tapi semua minuman manis (sugary drinks). Menurut artikel di VoA Indonesia itu, walikota New York Bloomberg (yes, in case you wondered, he is the one who owned bloomberg, yang nyediain data-data keuangan itu loh…), ini mengusulkan larangan penjualan minuman manis dengan ukuran lebih dari 450 gram di restoran, tapi tetap boleh dijual di convenient store, supermarket, dan toko lainnya. Jadi, tidak semua ukuran minuman dan tidak semua tempat dilarang menjual minuman manis ini, hanya terhadap ukuran tertentu dan di tempat tertentu saja.
Pasti ada alasan dan tujuannya dong?
Ya iya lah, minimal menurut mereka yang mendukung kebijakan ini. Artikel VoA Indonesia yang sama menjelaskan pendapat pejabat New York City yang mengutip sebuah studi pada tahun 2006 yang menyatakan bahwa minuman manis terkait dengan obesitas yang berkelanjutan dan meningkatnya risiko penyakit jantung dan diabetes. Dikutip pula pendapat ahli gizi Lebrun,

“Mengapa kita perlu 32 ons (907 gram) gula cair? Tidak ada nilai gizi di sana. Itu hanya memberi kita kalori berlebihan yang akan tersimpan sebagai lemak.”
Dilanjutkan dalam artikel tersebut, banyak warga New York yang mendukung larangan tersebut, di tulis:

Seorang warga mengatakan, “Terus terang, saya kecanduan Coca-cola dan sekarang saya sulit untuk berhenti.”
Salah satunya mengatakan, “Saya benar-benar berpendapat itu ide yang baik. Karena saya sendiri kelebihan berat badan.”
Para pendukung kebijakan ini juga mengutip data-data yang menyatakan bahwa obesitas merupakan masalah besar, literally, bagi warga Amerika Serikat. Dan pembatasan minuman manis diharapkan dapat berkontribusi mengurangi permasalahan obesitas.
Selain yang mendukung pasti ada yang menentang juga dong?
Pastinya lah. Masih di artikel VoA Indonesia yang sama, diulas tanggapan dari masyarakat New York yang menentang usulan pelarangan minuman manis ini.

“Negara macam apa ini. Kita bahkan tidak bisa minum soda dengan bebas!” “Ini adalah negara demokrasi dan kita harus bisa memilih jenis soda yang kita inginkan.”
David Almasi dari Pusat Nasional untuk Penelitian Kebijakan Publik yang cenderung konservatif menentang usul walikota itu. “Dalam kasus seperti apa yang disarankannya …. Kita bisa datang ke restoran dan kita boleh membeli 40 ons (1.134 gram) bir, tetapi kita tidak boleh membeli 40 ons (1.134 gram) Coca-cola,” kata Almasi.
Tapi bukan sekali ini aja Pak Bloomberg ini ngatur soal makanan?
Yup, Anda benar. Mike Bloomberg adalah seorang walikota dengan misi khusus, tepatnya misi kesehatan publik. Selama hampir dalam satu dekade terakhir, pak Blomberg ini telah menjadikan New York sebagai laboratorium penerapan kebijakan publik untuk meningkatkan tingkat kesehatan masyarakat. Sebagian berhasil, sebagian belum jelas manfaatnya.
Emang apa aja yang udah pernah diatur sama pak Mike Bloomberg ini?
Setidaknya ini:


  1. Pelarangan merokok di bar dan restoran di New York, secara efektif merupakan walikota yang pertama kali melakukan pelarangan seperti ini. Efeknya dahsyat: setahun setelah diterapkan, terjadi penurunan hingga 85% terhadap nicotine by-products lingkungan udara sekitar bar dan restoran, juga meningkatkan tingkat kesehatan pegawai restoran, dan juga tingkat kecenderungan merokok pada dewasa di New York. Kebijakan publik ini banyak ditiru di berbagai kota, tercatat 27 negara bagian di Amerika Serikat kini menerapkan peraturan serupa dan hampir 3 ribuan kota kecil menerapkan peraturan yang sama.

  2. Pada tahun 2011, New York melarang warganya merokok di tempat umum luar ruangan seperti pantai dan taman.

  3. Pada tahun 2006, Blomberg melarang “trans-fat” di restoran, yaitu penggunaan hydrogenated vegetable oil dalam proses memasak di restoran. Atas kebijakan ini, diketahui bahwa penggunaan trans-fat di restoran telah turun dari sekitar 50% menjadi hanya 2% saja. Namun demikian, belum ada data yang pasti mengenai dampak pelarangan ini terhadap level kolesterol warga.

  4. Masih pada tahun yang sama, New York mewajibkan restoran dengan jumlah outlet lebih dari 15 untuk menampilkan informasi mengenai kandungan kalori dalam makanan yang dijual. Belum ada hasil yang seragam dari manfaat pelarangan ini.

  5. Pada tahun 2009, New York meluncurkan National Salt Reduction Initiative, yang menargetkan penggunaan sodium dalam 62 kategori makanan dan 25 macam makanan di restoran.

  6. Pada tahun 2008, Bloomberg mengusulkan pengenaan tarif sebesar $8 terhadap kendaraan yang memasuki dan meninggalkan New York pada jam kerja. Sayangnya, aturan akhirnya ini tidak jadi dilaksanakan.
Tapi jangan khawatir, di Indonesia juga punya pejabat sejenis pak Bloomberg ini yang hobi menerbitkan kebijakan yang ngatur-ngatur kebiasaan hidup warganya…
Hah, emang ada juga pejabat yang mirip pak Bloomberg ini di Indonesia?
Ya, pak Walikota Depok, Nurmahmudi Ismail. Beliau setidaknya pernah mengatur mengenai:


  1. Kampanye makan dengan tangan kanan. :)

  2. Pelarangan kantin-kantin di lingkungan Pemda Depok menjual nasi setiap hari Selasa.

  3. Mewajibkan PNS Depok membuat komposter, dengan sanksi hukuman disiplin bagi yang melanggar.

  4. Menggalang kampanye satu hari tanpa mobil, dan menggantinya dengan… sepeda motor! Yup, sepeda motor. Kenapa bukan sepeda atau jalan kaki? Kecapekan mungkin, kalo naek motor kan gak cape palingan keringetan dan kepanasan doang…
Dan hebatnya, semua kebijakan pak walkot Depok ini selalu disosialisasikan dengan baliho bergambar dirinya sendiri dengan ukuran-ukuran segede gaban, sehingga pak Nurmahmudi bahkan digelari walikota baliho oleh salah seorang warganya.
Oke, cukup dengan Bloomberg dan Nurmahmudi. Lantas,  Anda kan ngaku-ngaku pendukung liberalism tuh? Nentang abis-abisan dong sama pengaturan kayak gini?
Ya dan tidak. Seperti ulasan saya di sini, berdasarkan pemahaman liberalisme yang saya pahami, dalam melakukan tindakan setiap orang:


  1. Berhak melakukan apa pun sepanjang tidak merugikan hak orang lain.

  2. Setelah mempertimbangkan kebebasan bertindak dan hak orang lain, setiap individu pasti akan mempertimbangkan rasionalitasnya: mempertimbangkan cost and benefit dan mekanisme insentif (dan disinsentif) yang ada.

  3. Meski demikian, jika ada pengaturan yang diterima secara individual (misalnya norma agama) atau secara bersama melalui kontrak sosial (misalnya peraturan perundangan yang ditetapkan pemerintah dan norma agama), maka sebagai individu kami harus konsisten dan turut kepada aturan yang berlaku tersebut.
Coba yang rasionalitas tadi dijelaskan dengan bahasa Indonesia…?
Jadi begini loh, meski bebas berkehendak dan bertindak tidak berarti setiap orang akan melakukan apa pun loh. Contohnya, seseorang bisa aja merasa berhak untuk merokok (sepanjang taat dengan aturan yang berlaku tentunya), namun dengan rasionalitasnya dia akan:


  • Mempertimbangkan biaya yang harus ditanggung untuk membeli rokok. Dengan analisis opportunity cost, uang yang sama dapat dipergunakan untuk membeli keperluan lain yang lebih bermanfaat.

  • Mempertimbangkan dampak buruk merokok terhadap diri sendiri dalam jangka panjang, yang jelas ditulis dibungkus rokoknya sendiri.

  • Mempertimbangkan pengaruh buruk merokok bagi keluarga terdekat dalam jangka panjang, dst…
Nah, dengan pertimbangan rasionalitasnya tadi (dengan asumsi masih berfungsi dengan baik), seorang liberalism pun akan berkesimpulan logis untuk tidak merokok. Ganti lah kata merokok dengan judi (statistically impossible to win), minuman keras (mahal dan dalam porsi berlebih dapat merusak fungsi hati), sex bebas (penularan penyakit), pemakaian helm, makan makanan yang mengandung kolesterol tinggi, dan yang laen-laen. Intinya, kebebasan yang didukung ini tidak berarti bablas tanpa tanggung jawab. Justru pertanggungjawaban yang pertama dan utama adalah kepada diri sendiri.
Emmm, permasalahannya apakah semua orang mampu berpikir logis dan rasional sepanjang hidupnya?
Anda sangat benar. Seperti di ulas di sini dan di sini, seseorang sangat rentan untuk bertindak tidak rasional, bisa diliat dari sekian banyak contoh nyata banyaknya orang yang merokok, naek motor gak pake helm, minum minuman keras, dan lain-lain yang jelas tidak rasional.
Ada banyak analisis mengapa seseorang bisa bertindak tidak rasional, setidaknya:


  • Fungsi rasionalitas manusia yang terbatas. Perkembangan riset mengenai dampak sesuatu perlu dilakukan selama bertahun-tahun sebelum ada kesimpulan yang jelas. Siapa yang menyangka pada tahun 1950-an bahwa merokok itu berbahaya buat kesehatan?

  • Kalo menurut Daniel Kahneman di bukunya Thinking Fast and Slow, kecenderungan manusia menggunakan system I (cara berpikir cepat) membuat rasionalitas atas pengaruh jangka panjang dari merokok, minum minuman keras, sex bebas, makanan berkolesterol tinggi, menjadi tidak nyata karena manusia tidak dilatih untuk menganalisis dampak jangka panjang atas sesuatu.

  • Ada yang mengatakan bahwa pada dasarnya manusia memang lebih mudah melakukan sesuatu yang menyenangkan, daripada sesuatu yang membosankan. Nah, yang judi, merokok, sex bebas, makanan berlemak adalah sesuatu yang menyenangkan.

  • Selain itu, ada sekelompok orang yang memang mampu berpikir secara logis sedangkan yang lainnya perlu disarankan untuk berpikir logis atau bahkan dipaksa untuk berpikir logis, salah satunya melalui peraturan…
Jadi, pengaturan seperti yang dilakukan pak Bloomberg ini sah-saja dong untuk melindungi seseorang dari dirinya sendiri?
Benar sekali. Bagi saya, pengaturan yang diatur oleh pemerintah bisa-bisa saja dilaksanakan untuk melindungi seseorang dari dirinya sendiri (termasuk dalam hal ini adalah pengaturan mengenai merokok, minuman keras, menggunakan helm), dengan catatan:


  1. Prioritaskan dulu penyelesaian dan pengaturan tugas utama pemerintah untuk melindungi hak seseorang dari pengambilan paksa oleh orang lain, penyediaan fasilitas publik, dan penegakan hukum. Kalo penyediaan fungsi-fungsi mendasar saja negara dan pemerintah tidak sanggup, mengapa perlu ngurusin hal-hal detail yang pengawasannya lebih susah? Itulah mengapa masyarakat Depok tidak terlalu antusias dengan kampanye pak walikotanya, karena sebelum fungsi dasar negara dan pemerintah dilaksanakan, pemerintah justru ngurusin hal-hal laen yang seharusnya menjadi prioritas selanjutnya.

  2. Untuk pengaturan yang bersifat melindungi seseorang dari diri sendiri, perlu ada riset analisis dampak.

  3. Selain itu, perlu dipahami peran pemerintah mana yang melakukan/melarang apa. Langkah pak Bloomberg yang mengatur restoran (penyedia makanan publik) atau pun pak Nurmahmudi yang mengatur PNS (yang di bawah  pembinaaan beliau) sebetulnya sudah tepat.
Sebenarnya, sejauhmana sih efektivitas pelarangan beginian?
Tergantung sama jenis pelarangan, efektivitas pengawasan, dan bagaimana masyarakat merespon ketentuan tersebut. Sayangnya, di Indonesia riset mengenai dampak suatu kebijakan ini masih sangat jauh diimplementasikan. Kalo misalnya saja pak Nurmahmudi Ismail memiliki data bahwa setelah pelarangan nasi tingkat kesehatan PNS Pemda Depok meningkat misalnya, akan sangat mengasyikkan menganalisis dampak kebijakan yang digagasnya.
Kalo bayangan saya sih pengawasannya pelarangan minuman manis ini akan sangat rumit dan mahal?
Terkait pengawasan, menurut pemahaman saya semakin beradab suatu masyarakat maka semakin sadar dan taat dan tidak diperlukan pengawasan berlebihan atas penerapan suatu ketentuan. Kalau di Indonesia? Silakan menilai diri sendiri…
Wallahu a’lam.
Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar