Laman

Minggu, 24 Juni 2012


Tuhan Nggak Ada???








Anda percaya Tuhan kan? Tentu saja, karena orang tua kita menyuruh untuk percaya sama Tuhan. Buktinya kita diajarin sholat, diajarin doa, diajarin berbuat baik, dengan iming-iming pahala dari Tuhan. Namun, pernahkah anda meragukan apa yang dikatakan orang tua anda sewaktu anda masih kecil? Jangan-jangan orang tua saya bohong, seperti ketika mereka mengatakan bahwa kancil bercakap-cakap dengan buaya sebagai dongeng pengantar tidur. Kalau anda sekarang menyadari bahwa sebenarnya kancil tidak pernah ngobrol dengan buaya sebagaimana yang dikatakan orang tua anda, mungkin itu bukan masalah yang serius, karena tidak begitu berpengaruh bagi keseharian anda sekarang ini. Tapi, bagaimana kalau yang dikatakan orang tua kita mengenai Tuhan itu juga merupakan kebohongan? Wah, masalah besar tuh. Sholat kita yang lima kali sehari, sedekah kita —walau sekedar senyum—, dan amal-amal baik lainya akan sia-sia kalau ternyata Tuhan itu tidak ada, siapa yang memberikan pahala kepada kita kalau bukan Tuhan? Mungkin tidak akan ada orang baik di dunia ini seandainya tidak ada Tuhan, karena tidak ada yang menjanjikan Surga bagi orang baik dan Neraka bagi orang jahat. Dengan demikian, kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan sangat mempengaruhi perilaku manusia.
Di dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa “Tiada Tuhan Selain Allah,” artinya Allah itu satu-satunya Tuhan, tidak ada Tuhan lain selain Allah. Namun, keterangan al-Qur’an tersebut tidak bisa dijadikan dalil bagi eksistensi Tuhan, mengapa? Karena al-Qur’an itu adalah kalam Allah, bagaimana mungkin kita mempercayai kalam Allah terlebih dahulu ketimbang eksistensi Allah itu sendiri, dan bagaimana mungkin kita mempercayai kalam Allah sementara eksistensi Allah sendiri masih diragukan. Hal ini sama anehnya ketika anda mempercayai bahwa “Mobil itu milik Pak Kusno” sementara anda sendiri belum meyakini bahwa Pak Kusno itu benar adanya. Lantas, bagaimana dengan doktrin keberadaan Tuhan yang orang tua ajarkan kepada kita, apakah ada bukti yang bisa membenarkan doktrin tersebut?
Disinilah salah satu peran penting “akal”, yakni membenarkan sekaligus membuktikan bahwa Tuhan itu benar-benar ada, bukan sekedar cerita palsu atau pun hasil imajinasi manusia belaka —sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang atheis— yang disebabkan ketidakmampuan manusia dalam menjawab fenomena yang terjadi di alam ini. Pemikir atheis, semisal Auguste Comte, menyangka bahwa dahulu kala manusia belum bisa menjelaskan mengapa gunung bisa meletus, sehingga akhirnya manusia dengan imajinasinya menciptakan Tuhan sebagai oknum dibalik meletusnya gunung tersebut. Pandangan tersebut tentu saja keliru, karena kalau memang demikian, maka setelah manusia mampu menjelaskan peristiwa gunung meletus secara ilmiah —seperti saat sekarang ini— seharusnya manusia meninggalkan Tuhan hasil imajinasi mereka tersebut. Namun kenyataannya, agama senantiasa ada di dalam kehidupan manusia dari waktu ke waktu, itu menunjukkan bahwa konsep ketuhanan masih tersimpan rapih di dalam hati sanubari manusia. Dengan mengamati alam semesta ini, manusia bisa mencapai pengetahuan terhadap Tuhan, karena sesungguhnya segala yang ada di alam ini adalah tanda-tanda (ayat-ayat) bagi eksistensi serta sifat-sifat Tuhan.
Jika kita mengamati benda-benda di sekitar kita, ternyata benda-benda tersebut tidak muncul dengan sendirinya. Misalnya kita mengamati buku, maka tidak mungkin buku itu ada jika tidak ada yang menulisnya, bangunan tidak mungkin berdiri tanpa ada orang yang membangunnya, komputer tidak mungkin ada tanpa ada orang yang merakitnya, begitu juga benda-benda lainnya. Selanjutnya, cobalah perhatikan makhluk hidup di sekeliling kita, ternyata semua binatang tidak mungkin terlahir tanpa ada induk yang melahirkannya, induk tersebut juga dilahirkan oleh induknya, dan begitu seterusnya. Manusia juga demikian, kita terlahir dari ibu, ibu terlahir dari nenek, nenek terlahir dari buyut, dan seterusnya. Tidak mungkin kita ada tanpa ibu, tidak mungkin ada ibu tanpa ada nenek, dan tidak mungkin ada nenek tanpa ada buyut. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa segala yang ada di alam ini membutuhkan sebab bagi eksistensinya, mustahil ada dengan sendirinya tanpa membutuhkan yang lain. Dengan demikian, kita telah meniscayakan adanya sebab bagi terselenggaranya kehidupan di alam ini, artinya mustahil kehidupan ini terselenggara tanpa ada yang menyelenggarakan.
Permasalahan selanjutnya yakni apakah sebab itu harus tunggal ataukah banyak, apakah yang menyelanggarakan kehidupan di alam ini secara mutlak dilakukan oleh satu sebab saja ataukah diselenggarakan secara komplementer oleh beberapa sebab? Untuk menjawab persoalan ini, kita bisa memakai tiga model argumentasi.
Pertama, bahwa segala sesuatu memiliki kategori-kategori tertentu. Misalnya, Ikan, Ayam, Kambing, Sapi termasuk dalam kategori binatang. Bambu, Bunga Mawar, Palem, Kaktus termasuk dalam kategori tumbuhan. Jika kedua kategori tersebut kita perluas menjadi kategori “Makhluk Hidup”, maka binatang dan tumbuhan berada pada satu kategori, karena keduanya sama-sama sebagai makhluk hidup. Selanjutnya, kita perluas kategori “Makhluk Hidup” menjadi kategori “Sesuatu yang Ada”, maka segala sesuatu —apapun itu— berada pada kategori yang sama, karena semuanya adalah “Sesuatu yang Ada”, bahkan “yang tidak ada” sekalipun adalah “Sesuatu yang ada”. Dengan demikian, “ada” merupakan sebab tunggal dari segala sesuatu, mengapa? Karena segala sesuatu baru bisa muncul hanya jika memiliki kategori “ada”. Tuhan, manusia, hewan, tumbuhan, bumi, dan lain sebagainya tidak akan muncul —sekalipun hanya dalam benak kita— jika tanpa disertai kategori “ada.”
Kedua, seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa segala yang ada di alam ini membutuhkan sebab bagi eksistensinya. A disebabkan oleh B, B disebabkan oleh C, C disebabkan oleh D, dan seterusnya. Rangkaian sebab tersebut harus berhenti pada satu sebab yang tidak membutuhkan sebab lain. Mengapa demikian? Karena jika tidak berhenti pada satu sebab yang tidak membutuhkan sebab lain, maka A, B, C, D, dan seterusnya tidak akan pernah eksis. A bergantung pada B, B bergantung pada C, C bergantung pada D, semuanya saling bergantung tanpa sandaran yang pasti adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Inilah yang dinamakan “Kemustahilan Tasalsul.” Untuk mempermudah memahami “Kemustahilan Tasalsul” ini, mari kita renungkan analogi berikut ini: “Sekumpulan Mahasiswa akan memasuki kelas, mahasiswa A akan masuk jika mahasiswa B masuk, mahasiswa B akan masuk jika mahasiswa C masuk, mahasiswa C akan masuk jika mahasiswa D masuk, demikian seterusnya mereka saling bergantung, maka yang terjadi adalah mereka tidak akan pernah memasuki kelas. Begitu juga jika A bergantung pada B, B bergantung pada C, C bergantung pada D, dan D bergantung pada A, akan menghasilkan suatu kemustahilan, namun istilah yang digunakan bukan “Tasalsul” tetapi “Dauwr”. Dengan demikian rangkaian sebab itu harus berhenti pada satu sebab yang tidak memerlukan sebab lain.
Ketiga, sistem yang berjalan dalam kehidupan ini sangat teratur. Cacing dimakan burung kecil, burung kecil dimakan tikus, tikus dimakan ular, ular dimakan burung elang, burung elang mati dimakan cacing. Rantai makanan tersebut berimplikasi pada keseimbangan ekosistem, sehingga menjaga kelestarian masing-masing spesies. Manusia dan binatang membutuhkan Oksigen untuk bernapas, sementara tumbuhan membutuhkan Karbon dioksida untuk bernapas. Dari proses pernapasan manusia dan hewan, dihasilkan Karbon dioksida, sementara dari proses pernapasan tumbuhan dihasilkan oksigen. Sungguh luar biasa sistem yang berjalan di alam raya ini. Sehingga antara manusia, hewan, dan tumbuhan saling membutuhkan. Tentu masih banyak lagi bukti-bukti keteraturan alam raya ini yang bisa kita saksikan bersama. Sistem yang serba teratur tersebut tidak mungkin terjadi secara kebetulan, pasti ada satu pemegang otoritas tertinggi yang mengaturnya. Lantas, mengapa harus satu yang memegang otoritas tertinggi tersebut? karena jika yang memegang otoritas itu lebih dari satu, maka tidak akan muncul sistem yang teratur, sistem yang ditetapkan oleh pemegang otoritas yang satu dengan yang lainnya akan saling bertentangan, tidak senantiasa harmonis seperti yang kita lihat di alam raya ini. Lalu bagaimana seandainya ada beberapa dewa yang melakukan pembagian tugas sehingga memungkinkan alam semesta berjalan harmonis? Pembagian tugas tersebut berarti membatasi kekuasaan dewa-dewa tersebut, artinya mereka (dewa-dewa) tidak memiliki kekuasaan yang mutlak, justru mereka dikuasai oleh aturan pembagian tugas tersebut. Dengan demikian, bukan dewa-dewa tersebut yang menyebabkan keteraturan sistem alam raya ini, tetapi “pembagian tugas” itulah yang menjadi sebab tunggal bagi terselenggaranya sistem yang serba teratur ini.
Itulah tiga model argumentasi untuk membuktikan eksistensi sekaligus ketunggalan sebab pertama. Secara logis, eksistensi alam raya ini meniscayakan adanya eksistensi sebab pertama yang tunggal dan tidak bergantung pada sebab lainnya. Sebab pertama itulah yang kemudian dinisbahkan sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Namun, bagi orang atheis, sebab pertama itu murni proses alam saja sesuai dengan hukum alam yang berlaku di jagat raya ini.
Selanjutnya, bagaimana kita bisa mengetahui sifat-sifat Tuhan dengan mengamati alam Raya ini? Sebelumnya kita perlu merenungkan bahwa ada beberapa fakta yang sudah jelas kebenarannya, misalnya sebuah kompor tidak mungkin bisa digunakan untuk memanaskan air jika kompor itu sendiri tidak bisa menghasilkan panas, sebuah kulkas tidak mungkin bisa mendinginkan air jika kulkas itu sendiri tidak bisa menghasilkan dingin. Singkat kata, sesuatu yang tidak dimiliki tidak mungkin bisa diberikan kepada yang lain. Kemudian, air yang dipanaskan menggunakan kompor, suhunya tidak mungkin melebihi suhu kompor yang memanaskannya, begitu juga kulkas, tidak mungkin suhu air yang didinginkan menggunakan kulkas lebih rendah dari suhu kulkas itu sendiri. Singkat kata, sebab senantiasa melebihi akibatnya.
Di jagat raya ini kita bisa menyaksikan dan merasakan berbagai macam situasi dan kondisi, ketika kita menyaksikan pemandangan yang indah di bumi ini, maka sudah pasti Tuhan yang menciptakan bumi jauh lebih indah dari pemandangan tersebut, ketika kita menyaksikan luasnya jagat raya ini, maka sudah pasti Tuhan yang menciptakannya jauh lebih luas dari jagat raya yang kita saksikan tersebut. Dengan demikian, keindahan dan kebesaran yang kita saksikan di jagat raya ini adalah gambaran sifat-sifat penciptanya yakni Tuhan Yang Maha Esa, tentunya dengan kadar yang jauh lebih dahsyat melampaui apa yang kita saksikan di jagat raya ini.
Permasalahan selanjutnya yakni, ketika kita menyaksikan keburukan di jagat raya ini, apakah itu juga menggambarkan bahwa Tuhan memiliki sifat Maha Buruk? Pada hakikatnya yang ada hanyalah kebaikan, keburukan tidak memiliki eksistensi yang mandiri, ia hanya akibat dari kurang atau tidak adanya kebaikan, seperti halnya kegelapan, ia tidak benar-benar eksis, tetapi hanya akibat dari kurang atau tidak adanya cahaya yang meneranginya. Kalau kita perhatikan, kondisi awal bumi ini adalah baik, kehidupan berjalan dengan seimbang, namun setelah ada campur tangan manusia, maka muncullah keburukan-keburukan, seperti Pemanasan Global (Global Warming), Hutan Gundul, Polusi, Pencemaran Lingkungan, Kepunahan Spesies tertentu, dan lain-lain. Itu menunjukkan bahwa keburukan hanyalah efek dari kurang atau hilangnya kebaikan. Manusia secara naluriah mencintai kebaikan, namun dikarenakan faktor-faktor tertentu —ekonomi, politik, dll.— secara perlahan kebaikan itu tertutupi oleh keburukan, maka muncullah berbagai tindak kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Sehingga benar jika kita mengatakan, “Kebaikan datangnya dari Tuhan, keburukan datangnya dari manusia”.
Itulah sedikit pelajaran yang bisa kita peroleh dari alam empiris ini. Alam empiris tidak hanya menghasilkan pengetahuan yang empiris pula, tetapi juga menghasilkan pengetahuan metafisik, yakni pengetahuan yang tidak didapat oleh pancaindera manusia. Dengan memberdayakan “akal”, manusia mampu mencapai “makrifatullah” melalui alam raya ini. Wallahua’lam bissawab [].

Sumber:
http://filsafat.kompasiana.com/2012/06/23/tuhan-nggak-ada/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar